Rabu, 20 April 2016

Di Bawah Lindungan Ka'bah


Di Bawah Lindungan Ka'bah, HAMKA

[No. 002]
Judul: Di Bawah Lindungan Ka’bah
Penulis: HAMKA
Penerbit: Bulan Bintang
Cetakan: 22, 1995
Tebal; Ukuran: 64 halaman; 21 cm
ISBN 979-418-063-7

Sebuah kisah cinta memang tak akan pernah hilang indahnya, baik itu berakhir bahagia apalagi jika berakhir duka. Setiap perjalanan terjal berliku akan menjadi fragmen-fragmen utuh yang akan menjadi bagian-bagian yang tidak bisa dilepaskan satu dari lainnya. Jika italia memiliki Romeo dan Juliet, maka buku ini akan berkisah tentang perjalanan cinta dari ranah minang antara Zainab dan Hamid.

Kisah cinta dalam buku ini diceritakan begitu lekat dengan adat, begitu rapat dengan aturan agama. Bukan sebuah kisah cinta bebas sebagaimana kebiasaan cinta remaja sekarang, betapa sulit berkomunikasi bahkan hanya sekedar berkirim surat. Ada sekat tipis yang begitu tinggi di antara keduanya, begitu manis tutur kata dan bahasa tertulis dalam cerita ini. Diksi yang memukau dari seorang sastrawan ranah minang, HAMKA. Buku yang terdiri dari 13 bab ini adalah kisah perjalanan cinta sang lakon utama pada kisah cinta perih ini. Sungguh menarik gaya penyampaian kisah pada buku ini, dengan menggunakan pihak ketiga sebagai penutur kisah.

Kisah ini diawali dengan perkenalan antara sang penutur dengan seorang sahabat baru di Mekah, yaitu Hamid, tokoh sentral dalam kisah ini. Dua bab di awal menjelaskan ihwal perkenalan mereka berdua hingga berujung pada datangnya seorang sahabat baru, Saleh. Saleh singgah di Mekah Madinah dalam perjalanan dari tanah Sumatera ke Mesir untuk melanjutkan pelajarannya. Hamid diperkenalkan sebagai tokoh yang begitu santun dan ta’at beribadah serta berhati tenang. Namun kedatangan Saleh mengubah segalanya. Mengubah semua hari-hari yang biasa dijalani oleh Hamid.

Diawali pada bab 2, bagian ini kemudian berisi tentang kisah hidup seorang Hamid. Diawali dengan bagaimana ia menjadi yatim, menjalani hari-hari yang penuh duka hingga pada akhirnya ia dipertemukan dengan seorang tokoh masyarakat yang bernama Haji Ja’far, kemudian menjadi tokoh yang menjadi panutan serta tautan hidupnya dan ibunya. Haji Ja’far memiliki seorang anak perempuan bernama Zainab. Berawal dari pergaulan hubungan kakak-adik, benih-benih cinta antara Hamid dan Zainab mulai tumbuh tanpa terasa. Kisah cinta mereka tidak bisa diterima adat, karena adanya perbedaan kelas sosial, namun demikian mereka dapat tumbuh bersama di bawah perlindungan Haji Ja’far.

Bab 5, kisah diawali dengan meninggalnya Haji Ja’far yang mengubah kisah hidup Hamid dan Zainab. Mereka tak dapat lagi sering bertemu, mereka kini harus menjadi asing karena Hamid tak bisa tinggal lagi di lingkungan yang sama dengan Zainab. Kisah cinta Hamid dan Zainab untuk pertama kalinya terungkap oleh Ibu Hamid yang tak lama kemudian meninggal karena sakit. Percintaan mereka semakin terlarang ketika Mak Asiah, Ibu Zainab hendak mempertalikan Zainab dengan kemenakannya yang lain, Hamid yang sudah dianggap sebagai Abang di keluarga itu tak mampu berkata-kata ketika dimintakan pendapatnya. Ia hanya bisa menyetujui tanpa memiliki kekuatan untuk mengakui bahwa ia mencintai seseorang yang sudah ia anggap sebagai adiknya.

Bab 7, berkisah tentang perjalanan Hamid yang menjauh dari tanah Minang untuk mengobati luka hatinya, perjalanannya diawali ke Medan, Singapura, Bangkok, Hindustan, Karachi, Basrah, Irak, hingga akhirnya tiba di Mekah.

Bab 8-9, kedatangan Saleh ke tanah mekah membawa kisah yang tak kurang mengejutkan bagi Hamid. Setelah sekian lama, saat itu adalah pertama kalinya Hamid mendengar kembali nama Zainab dalam hidupnya. Hadirnya kembali kisah Zainab yang telah lama hilang dalam hidupnya membawa banyak sekali harapan dalam kehidupan Hamid.

Bab 10, berkisah tentang surat-surat antara Zainab dan Hamid, melalui perantara Saleh dan Rosna (sahabat Zainab yang menjadi istri Soleh). Begitu indah kisah yang tertuang dalam surat mereka berdua, diiringi dengan kedukaan karena ternyata terungkap bahwa Zainab sakit-sakitan, sepeninggal Hamid sejak waktu yang lampau.

Bab 11-12, berita duka tiba di Mekah dari Tanah Air, yang dicinta telah mendahului Hamid. Terpukul dan tersungkur ia, hingga tak lama kemudian ia pun menyusul ke haribaan.

Bab 13, menggambarkan bagaimana kota mekah kemudian, sebelum kedua sahabat berpisah.

HAMKA begitu apik menceritakan setiap kisah dalam buku ini. Pemilihan kata yang indah namun mudah dimengerti. Tak sedikit orang yang mengagungkan bagaimana HAMKA menggubah kisah ini menjadi sebuah cerita yang mungkin tak akan pernah lekang dari dunia persastraan Indonesia. Di Bawah Lindungan Ka’bah menjadi sebuah model betapa agungnya adat di dunia kebudayaan –percintaan- tanah air kita.

Tak salah rasanya jika para pemuda pemudi membaca buku ini, agar mereka bisa berkaca bagaimana agungnya menjaga rasa dan kehormatan, sekalipun rasa cinta begitu menggebu dalam dada. Mencintai bukan hanya sekedar meluapkan perasaan, tapi bagaimana menjaga iman. Jika kita baca setiap kata-kata dalam buku ini, begitu lekat perasaan mendalam yang tertanam di dalamnya. Luka akibat beratnya menjaga kesucian cinta dalam balutan iman menjadi spirit utama penulisan buku ini, bukan hanya sekedar cinta yang berakhir duka.

Tokoh: Hamid, Zainab, Saleh, Rosna, Haji Ja’far, Mak Asiah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar